Nak,
Kau bisa hirup peluhku
Yang menggenang dan kering lagi
Hanya biar perutmu berisi
Kulitku berlipat karena waktu
Kakiku terpatah-patah
Demi engkau, tubuhmu, dan nafasmu
Tubuhku mendung karena matahari
Peluhku jatuh karena letih
Aku terpatah-patah
Apa kau pikir aku hendak menjemput darah?
Keluh?
Tidak, nak
Aku hanya ingin mengantar pelangi padamu
Biar damai di sisimu
Biar sejuk di pagimu
Dan biar senja jadi kerinduanmu
Pagi itu aku tengah duduk di antara para ilalang yang pasrah ditiup angin, di salah satu lapangan olahraga serbaguna Cianjur. Masih ada pembangunan kecil yang dilakukan di sana. Lalu mataku terpaku pada seorang lelaki tua yang memanggul bongkahan bata dengan banyak peluh yang terpeleset dari pelipisnya.
Aku teringat akan ayah, yang mungkin saat ini juga sedang berdarah-darah mencari penghidupan untuk keluarga kecil kami. Aku teringat akan wajahnya yang mulai berkeriput. Keriput-keriput yang menandakan seberapa panjang dan jauh perjalanannya menemukan sebutir bibit kehidupan untuk kami.
Allah masih memberikanku waktu untukku, dan aku bersyukur atas itu. Meski belum sepenuhnya, namun aku masih berusaha untuk membahagiakannya, setidaknya membuat senyum ayah tersimpul padaku. Aku yakin semua anak di dunia ini, tak ada yang tak mau membuat lelaki idolanya ini, ayah-ayah mereka, bahagia. Maka, selama kita masih sanggup menghirup udara, membuka mata, melembutkan hati, dan bergerak, ayo buat ayah kita bangga. Berikan yang terbaik agar senyumnya hidup di dunia, maupun agar ia mendapat mahkota syurga terbaik dari-Nya.
Posted: C
0 komentar:
Posting Komentar